Bolehkah Mengamalkan Hizib Tanpa Ijazah? Ini Jawaban Habib Luthfi Bin Yahya. Mengamalkan suatu amalan atau wirid biasanya dilakukan setelah mendapatkan ijazah dari guru, atau dalam bahasa lain atas izin guru. Namun dalam kemajuan teknologi ini banyak kumpulan wirid dari para ulama yang tersebar luas di Internet. Berkaitan hal tersebut banyak yang bertanya apakah boleh mengamalkan wirid atau amalan tanpa ijazah.
Berkaitan dengan hal itu, sebagaimana dikutip dari Jatman.or.id, ada salah satu jamaah yang bertanya kepada Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya berkaitan tentang hukum mengamalkan suatu amalan berupa kumpulan wirid atau yang sering dikenal dengan hizib, namun belum mendapatkan ijazah.
“Habib Luthfi yang saya hormati, saya ingin minta penjelasan dari Habib, apakah mengamalkan kitab-kitab yang berisikan wirid, misalnya Kitab Khulashah al-Madad an Nabawi, karya Habib Umar bin Hafidz, harus dengan ijazah?” pertanyaan jamaah yang posting oleh Jatman.or.id
“Selama ini saya sudah mengamalkan sebagian kitab tersebut, sebab menurut teman saya yang juga seorang habib, boleh mengamalkan kitab itu dengan tanpa ijazah. Akan tetapi saya tetap merasa kurang mantap, karena dalam kitab tersebut terdapat Hizib al Bahr dan Hizib an-Nawawi yang sepengetahuan saya mengamalkan hizib itu harus dengan ijazah.” lanjutnya.
Habib Luthfi menjawab, Berkaitan dengan kitab yang disebutkan itu, semua kitab yang berkaitan dengan aurad (segala wiridan), alangkah afdhalnya apabila diijazahkan. Jangankan kitab aurad, kitab manaqib auliya’ yang menceritakan kisah hidup para wali Allah Swt pun terkadang terdapat bahasa-bahasa (dalam bahasa tasawuf) yang sangat tinggi maknawiyahnya. Apabila kita tidak mengetahuinya, maka akan timbul kesalahfahaman.
Misalnya Imam Ahmad Ibnu Athaillah as-Sakandari r.a. pernah berkata “Zayyin nafsaka bilma’ashi wa la tuzayyin nafsaka biththa’ah.” Arti harfiah ungkapan itu adalah; Hiasilah dirimu dengan segala kemaksiatan dan jangan hiasi dirimu dengan ketaatan.
Padahal yang dimaksud bukan itu. Al-ma’ashi artinya perbuatan maksiat, tetapi di sini Al-ma’ashi maknanya berdosa, yakni yang dimaksudkan adalah dosanya. Nah, di sini yang diambil makna dosanya, bukan perbuatannya.
Jadi makna ungkapan Imam Ahmad Athaillah di sini yakni hiasilah dirimu dengan penuh perasaan banyak dosa, bukan dengan maksiatnya. Apabila kita merasa banyak dosa, maka hal itu akan mendorong kita untuk berbuat kebaikan dan selalu menambah kebaikan.
Dan janganlah hiasi dirimu dengan perasaan penuh dengan amal-amal kebaikan, karena apabila kita sudah merasa memiliki banyak amal baik, yang akan timbul adalah sifat ananiyah, egoisme dan keakuan, yang apabila hal itu muncul justru hanya akan mendorong dan menambah kebodohan.
Nah, untuk menghindarkan makna yang tidak dimengerti maksudnya yang persis, wajib berguru. Disinilah letaknya wajib berguru dalam mengaji kitab. Wallahu a’lam, semoga bermanfaat. ALS (*)