PAGARNUSA.OR.ID – Toxic masculinity masih menjadi permasalahan serius di kalangan anak muda. Banyak dari mereka yang salah kaprah dalam mengekspresikan sisi maskulinitas, khususnya bagi laki-laki.
Tidak jarang banyak anak muda yang melakukani aksi-aksi kekerasan dan tawuran antar pelajar. Tindakan-tindakan destruktif ini mereka lakukan hanya untuk mendapat pengakuan dari kelompok mereka.
Sebut saja aksi klitih di Yogyakarta. Aksi yang melibatkan anak muda ini hampir sama dengan begal. Mereka membawa barang tajam seperti pedang, parang, gir, maupun clurit. Aksi ini pun kerap memakan korban.
Klitih dan Upaya Mencari Jati Diri
Sebenarnya fenomena klitih telah mengalami pergeseran makna. Dulu, istilah ini merujuk pada aktivitas jalan-jalan di pasar klitikan sekadar untuk mencari angin. Mereka melakukan aktivitas tersebut beramai-beramai dengan tujuan untuk menghilangkan kebosanan.
Akan tetapi istilah klitih sekarang ini memiliki konotasi negatif. Klitih lebih identik dengan kriminalitas dan kekerasan.
Menariknya, pelaku klitih kebanyakan berasal dari anak-anak remaja yang berusia SMP hingga SMA. Sebuah riset dari LM Psikologi UGM menjelaskan alasan mereka melakukan klitih.
Klitih menjadi ajang mencari pengakuan dari rekan-rekan kelompoknya. Mereka akan mendapat reputasi yang bagus ketika melakukan aksi tersebut.
Baca Juga:
Pada fase ini remaja memang akan mengeksplorasi berbagai hal untuk mencari jati diri dan identitas. Proses pencarian jati diri ini kerap mereka ekspresikan dengan mencari kelompok yang menurut mereka ideal.
Ketika tidak mendapat pengakuan dari kelompok tersebut, maka mereka akan tereliminasi dan dianggap sebagai individu yang gagal. Sikap suka berkelahi dan adu bacok yang sering diasosiasikan sebagai representasi dari karakter maskulin membuat mereka berani melakukan aksi klitih.
Toxic Masculinity, sebuah Pandangan Bias
Sistem patriarki yang masih mengakar turut mempengaruhi pandangan masyarakat soal sifat feminin-maskulin.
Jiwa-jiwa maksulinitas sering mereka asosiasikan dengan hal-hal yang identik dengan keberanian, kekuasaan, dan ketangguhan.
Akibatnya, anggapan ini turut memberikan tekanan psikologis kepada laki-laki sehingga mau tidak mau ia harus mengikuti anggapan tersebut.
Hal demikian dapat membuat laki-laki terjebak dalam pergaulan yang tidak sehat. Pemahaman yang salah tentang maskulinitas (toxic masculinity) menggiring anak remaja ke dalam tindakan-tindakan beringas yang destruktif.
Aksi Pembinaan Melalui Pagar Nusa
Salah satu upaya untuk mengatasi hal-hal demikian adalah melalui pembinaan. Bagaimana rasa penasaran anak muda dapat mereka arahkan menuju kegiatan-kegiatan positif yang bermanfaat.
Pagar Nusa menjadi ruang positif bagi anak muda untuk mengekspresikan jati diri mereka. Melalui pencak silat ini, para peserta Pagar Nusa dapat belajar tentang olah raga, olah rasa, dan olah jiwa.
Penggemblengan melalui Pagar Nusa dapat memberikan makna positif soal sikap maskulin. Bahwa sikap tersebut bukan berarti siapa yang paling berani adu fisik maupun tawuran. Namun mereka yang mampu menahan diri dan emosi meskipun ia dapat melakukan hal demikian.
Melalui Pagar Nusa, sikap maskulin dapat diarahkan menuju hal-hal positif yang lebih baik. Dengan demikian, anak muda dapat memberikan kebermanfaatan yang lebih luas dan tidak terjebak dalam lingkungan yang toxic. (*)