PAGARNUSA.OR.ID – Dalam tradisi kepesantrenan, khususnya Nahdlatul Ulama, khidmah tentu bukan menjadi istilah yang asing. Para santri masih menjunjung tinggi tradisi khidmah. Karena tradisi ini mereka percayai sebagai salah satu jalan untuk membuka pintu keberkahan.
Definisi Khidmah
Mengutip KBBI, khidmah berarti suatu bentuk kegiatan, pengabdian, dan pelayanan. Hal tersebut senada dengan makna khidmah yang berasal dari bahasa Arab, yakni mengabdi atau melayani.
Dalam konteks kepesantrenan, khidmah menjadi suatu bentuk sikap keridlaan santri untuk mengabdikan diri kepada kiai. Biasanya tradisi ini mereka lakukan dalam rangka menyempurnakan proses mencari ilmu (tafaqquh fid din) supaya mendapat keberkahan pada masa setelahnya.
Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliky pernah berkata: “Tsabatul ilmi bil mudzakaroh, wabarokatuhu bilkhidmah, wanaf’uhu biridho as-syaikh.” (Melekatnya ilmu dengan cara mengulang-ulang pelajaran yang sudah didapat, barokahnya dengan khidmah, sedang kebermanfaatannya berada di ridla seorang guru).
Khidmah hendaknya dilaksanakan atas dasar keikhlasan dan ketulusan karena Allah. Sehingga orang yang berkhidmah senantiasa melakukan tugas dengan senang hati. Bukan karena permintaan atau kewajiban.
Memaknai Khidmah
Secara sederhana, tradisi ini merupakan bentuk ketundukan kepada guru. Seorang guru, yang Ali bin Abi Thalib menyebutnya, siapa saja yang mengajar dirinya meski hanya satu huruf adalah sosok tuan yang harus kita hormati.
Namun pengertian ini hendaknya jangan dipahami dengan tergesa-gesa. Ini adalah ucapan yang mengindikasikan puncak kerendahan hati seorang murid kepada gurunya.Apa yang Ali bin Abi Thalib sampaikan merupakan suatu bentuk penghormatan tertinggi. Dan ia telah memahami dengan sebenarnya akan kedudukan murid terhadap seorang guru.
Habib Husein Jafar dalam podcastnya bersama Yusril Fahreza sempat membincang soal khidmah. Menurutnya, berkhidmah itu bukan kepada sosok, melainkan kepada nilai.
Jika berkhidmah itu karena sosok, lanjut Habib Ja’far, maka akan memunculkan pengkultusan. Di mana pengkultusan ini akan mematikan nalar sehat. Namun ketika seseorang berkhidmah karena nilai, maka khidmah yang dilakukan pun tidak mudah dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Khidmah sebagai Tradisi NU
Istilah khidmah memang lekat dengan organisasi muslim terbesar satu ini. Memang NU dan kepesantrenan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat kita pisahkan, termasuk tradisi khidmah ini.
Melansir dari nuonline, secara sederhana berkhidmah dalam NU berarti mengikuti. Apa yang diikuti? Yaitu nilai-nilai dan amalan yang mengakar kuat dalam organisasi ini. Seperti sikap tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleransi), dan I’tidal (lurus).
Khidmah sendiri pada dasarnya dapat berwujud dalam berbagai macam. Baik dalam bidang keagamaan, sosial, seni, maupun bidang lainnya. Oleh karena itu berkhidmah dapat kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari baik secara kultural maupun struktural melalui banom-banomnya.
Pagar Nusa merupakan bagian dari banom (Badan Otonom) NU yang hampir berusia 38 tahun lamanya. Berkhidmah kepada Pagar Nusa berarti setia dan patuh terhadap nilai-nilai yang para senior ajarkan selama latihan. Selain mewarisi tradisi bela diri dan pencak silat, para kader Pagar Nusa hendaknya juga mampu mengimplementasikaan nilai-nilai ke-Nu-an yang telah penulis sebutkan tadi.
Menjadi kader Pagar Nusa bukan ajang untuk gaya-gayaan, pamer kekuatan, saling tindas, maupun saling menjatuhkan satu sama lain. Justru dengan menjadi kader Pagar Nusa berarti memikul tanggung jawab yang besar. Hal ini karena menjadi kader Pagar Nusa berarti membawa nama besar Nahdlatul Ulama. Dengan misi membawa perdamaian global.
Melestarikan pencak silat Pagar Nusa dan menebarkan nilai-nilai yang ada di dalamnya adalah sarana berkhidmah kepada NU. Semoga dengan ini dapat menjadikan kita mendapat pengakuan dari pendiri Nahdlatul Ulama sebagai santrinya. Sebagaimana yang Beliau sampaikan:
“Siapa yang mengurus NU, saya anggap santriku, siapa yang menjadi santriku saya doakan husnul khotimah beserta keluarganya” (Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari) (*)