KH Hasyim Asy’ari Bekali Santri Ilmu Pencak Silat, Menjaga Diri Melawan Penjajah. Tepatnya akhir abad ke-19 bermunculan pabrik-pabrik milik bangsa asing di daerah Tebuireng Jombang. Keberadaan pabrik-pabrik tersebut membawa perekonomian membaik dan membuka lapangan kerja. Namun karena masyarakat uyang belum siap menghadapi industrialisasi justru dampak buruk keberadaan pabrik tersebut lebih terasa. Banyak masyarakat yang bekerja di pabrik menggunakan upahnya untuk hal-hal yang buruk, untuk mabuk, main wanita dan lain sebagainya.
Keberadaan pabrik tersebut juga membuat masyarakat semakin jauh dengan nilai-nilai agama. Banyak tanah-tanah mereka yang dijual ke pihak asing untuk memperluas perkembangan pabriknya. Kondisi masyarakat Tebuireng saat itu sangat memprihatinkan. salah satu sosok yang sangat prihatin terhadap kondisi masyarakat saat itu adalah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Jauh sebelum NU berdiri, KH Hasyim Asy’ari telah merintis perjuangan untuk menyelamatkan masyarakat pada saat itu. Kondisi masyarakat yang amat memprihatinkan membuat KH Hasyim Asy’ari tergugah, akhirnya beliau membeli sebidang tanah milik seorang dalang di Tebuireng. Pada tanggal 3 Agustus 1899 M bertepatan dengan tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H. KH Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah bangunan kecil dari anyaman bambu.
Bangunan dari anyaman bambu tersebut berukuran 6×8 meter tersebut menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Kala itu bangunan sederhana itu dibagi oleh KH Hasyim Asy’ari menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal KH Hasyim Asy’ari bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Hadirnya KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng membuat masyarakat kaget dan tidak langsung menerimanya. Banyak sekali gangguan-gangguan, fitnah sampai ancaman datang mendatangi KH Hasyi Asy’ari dan para santrinya. Lebih parah lagi yang menjadi bahan sasaran teror adalah para santri. Teror tersebut datang dari oknum-oknum yang tidak menyukai keberadaan KH Hasyim Asy’ari dan santrinya. Gangguan yang datangpun bermacam-macam. Ada yang melakukan pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak.
Santri-santri seringkali terpaksa tidur berdekatan dalam satu ruangan sebagai tindakan pencegahan terhadap potensi bahaya tusukan benda tajam. Ancaman-ancaman juga meresahkan mereka di luar pondok, dengan usaha mengintimidasi agar santri-santri meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim. Gangguan-gangguan semacam ini berlangsung selama dua setengah tahun, sehingga santri-santri harus melakukan jaga berputar untuk menjaga keamanan.
Situasi semakin kritis dan menghambat aktivitas santri-santri, hingga KH Hasyim Asy’ari mengambil keputusan untuk mengirim seorang santri ke Cirebon, Jawa Barat, untuk bertemu dengan sahabat-sahabat dekatnya, yakni Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Mereka diperintahkan datang ke Tebuireng dengan tujuan untuk memberikan pelatihan dalam seni bela diri pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan.
Setelah memperoleh keterampilan kanuragan dan pencak silat ini, santri-santri tidak lagi merasa khawatir terhadap gangguan dari luar. Bahkan, Kiai Hasyim secara pribadi mengambil tanggung jawab melakukan patroli malam sendirian. Meskipun seringkali menghadapi fisik para penjahat, dia mampu mengatasi mereka dengan mudah. Bahkan sejumlah penjahat tersebut kemudian meminta untuk diajari ilmu pencak silat dan menjadi pengikut setia Kiai Hasyim. Dari saat itu, Kiai Hasyim mulai diakui sebagai ayah, guru, dan pemimpin masyarakat. (*)