PAGARNUSA.OR.ID – Dalam tradisi Pagar Nusa, falsafah “di atas lawan, di bawah kawan” tentu menjadi istilah yang tidak asing lagi. Konsep ini menjadi prinsip bagi para pesilat Pagar Nusa, terutama dalam pertandingan pencak dor.
Pencak dor memang telah menjadi tradisi yang terus dilestarikan sebagai warisan budaya Indonesia. Meskipun terkesan brutal, namun tradisi ini memuat substansi nilai yang luhur. Di mana rasa sportivitas, persaudaraan, dan solidaritas menjadi ajaran yang menjadi pegangan bersama.
Sekilas tentang Pencak Dor
Pencak dor lahir bukan tanpa sebab. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, pencak dor telah menjadi ajang uji kepiawaian dalam bersilat.
Pencak dor sendiri berasal dari tradisi Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang telah lama mengembangkan budaya pencak silat.
Budaya pencak silat di Lirboyo kemudian menemukan formatnya ketika KH Abdullah Maksum Jauhari atau Gus Maksum mendirikan Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia (GASMI) pada 1966.
Selain sebagai uji keterampilan, pencak dor juga tidak jarang menjadi wahana untuk menuntaskan masalah antarsantri. Sehingga ketika ada sebuah konflik maka pencak dor menjadi solusinya.
Namun menariknya, tidak ada menang kalah dalam pencak dor. Setelah pertandingan usai, maka mereka kembali akrab menjalani rutinitas pesantren.
Pada era 60-an dan 90-an, pencak dor didominasi oleh para pesilat dari kalangan santri. Baru mulai tahun 2000-an, banyak pesilat dari eks-karesidenan Kediri yang tertarik mengikuti pencak dor. Bahkan dari kalangan masyarakat yang tidak bergabung dalam perguruan silat pun turut meramaikan tradisi ini.
Perhelatan pencak di atas papan kayu di kelilingi ring bambu ini ternyata membawa dampak positif. Pada saat itu, tawuran anak-anak muda di sekitar eks-Karesidenan Kediri cukup tinggi. Baru ketika pencak dor ini muncul, tawuran tersebut dapat ditekan. Nyatanya pencak dor menjadi solusi setiap masalah di antara mereka.
Di Atas Lawan di Bawah Kawan
Meskipun pencak dor dulu dapat menjadi sarana meluapkan emosi, namun seperti halnya Gus Maksum mengajarkan, bahwa di atas lawan di bawah kawan. Ketika di atas ring, mereka seolah-olah adalah musuh yang saling menyerang habis-habisan. Namun di bawah ring mereka adalah saudara yang saling mengayomi.
Filosofi ini hendaknya menjadi prinsip dan pegangan bagi para pendekar pencak silat. Maksudnya begini, para pendekar yang telah menguasai ilmu bela diri hendaknya tidak sewenang-wenang menggunakan kemampuannya tersebut.
Istilah “ Di atas lawan” menunjukkan makna sebuah gelanggang di mana tempat para pendekar saling unjuk kedigdayaan. Namun lebih dari itu, istilah ini memberikan pengertian bahwa hanya “gelanggang” yang menjadi tempat untuk bertarung.
Artinya, momen unjuk kemahiran dalam bersilat memiliki konteks dan waktu tersendiri. Hal ini pun mengajarkan kepada kita bahwa kemampuan bersilat lantas tidak menjadikan seseorang menjadi sombong, arogan, dan angkuh.
Mereka tahu situasi dan kondisi di mana mereka harus menunjukkan kemampuannya, dan di mana mereka harus menahan diri dari kesombongan untuk menunjukkan kedigdayaannya.
Sementara itu, istilah berikutnya “di bawah kawan” selain menjunjukkan persahabatan setelah pertandingan pencak dor. Juga menunjukkan bahwa para pendekar dalam kehidupan sehari-hari selalu mengupayakan keteduhan di masyarakat. Sebagaimana kawan yang selalu menjunjung tinggi persaudaraan untuk mewujudkan keharmonisan bersama.
Persaudaraan tanpa Rasa Dendam
“Di atas lawan, di bawah kawan” menunjukkan bahwa persaudaraan hendaknya dilandasi tanpa adanya rasa dendam. Rasa sakit yang ditimbulkan dalam pertandingan pencak dor bukan lantas menjadi penyebab munculnya dendam di luar pertandingan.
Sebagai ajang pertandingan persahabatan, dalam pencak dor tidak ada istilah menang-kalah. Namun hendaknya menjadi instropeksi diri atas latihan-latihan yang selama ini kita lakukan.
Seperti halnya ilmu padi, “Semakin tua semakin merunduk,” pendekar Pagar Nusa hendaknya semakin kompeten, semakin tawadhu’. (*)