PAGARNUSA.OR.ID – Fenomena kenakalan remaja menjadi tantangan tersendiri bagi Negara Indonesia. Memang pada fase ini anak-anak yang sedang menginjak fase remaja dihadapkan dengan berbagai rasa penasaran tentang kehidupan.
Selain munculnya rasa ketertarikan dengan lawan jenis, fase ini terkadang juga menggiring pada krisis identitas. Akibatnya, jika fenomena tersebut tidak mendapat perhatian yang baik maka akan menjerumuskan para remaja menuju kenakalan-kenakalan lainnya.
Pencak Silat Pagar Nusa merupakan salah satu wadah yang menampung anak muda, khususnya para remaja untuk melatih bakat dan kreativitas. Berdiri secara resmi sejak tahun 1986, Pagar Nusa telah berupaya menjadi sarana untuk menekan maraknya kenakalan remaja.
Pagar Nusa dan Kasus Kenakalan Remaja
Dari pernyataan di atas, kemudian muncul pertanyaan, bagaimana mungkin Pagar Nusa sebagai bagian dari pencak silat yang identik dengan baku hantam dapat menjadi solusi atas kasus kenakalan remaja? Apakah justru tidak menambah kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya mengingat banyaknya kasus bentrok antar perguruan silat?
Mungkin pertanyaan di atas yang muncul di benak kita. Sehingga memunculkan stigma buruk terhadap keberadaan Pagar Nusa dan pencak silat lainnya.
Namun, apakah begitu kenyataannya?
Sebuah riset menarik yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) membincang tentang kondisi tersebut.
Tim PKM UGM bidang Riset dan Humaniora pada tahun 2023 kemarin meneliti tentang nilai dan kearifan lokal dalam pencak silat sebagai upaya untuk mengatasi kenakalan remaja.
Ahmad Fadlullah Al-Husni, dkk (2023) meneliti pengalaman anggota pencak Silat Pagar Nusa Rayon UIN Sunan Kalijaga. Ia menjelaskan bahwa penelitian tersebut bertujuan untuk menggali bagaimana nilai kearifan lokal pencak silat seharusnya dapat menjadi solusi kenakalan remaja.
“Pencak silat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diharapkan dapat menjadi solusi khas lokal sebagai penanganan kasus kenakalan remaja di Indonesia. Untuk itu penelitian hadir sebagai sarana menggali nilai dan kearifan lokal dalam pencak silat yang mampu mengubah perilaku kenakalan remaja menjadi lebih baik,” ujar mahasiswa Psikologi 2021 itu.
Dengan melakukan observasi dan wawancara secara langsung, Ahmad beserta rekannya menggali bagaimana dinamika krisis identitas yang terjadi pada anggota Pagar Nusa, bagaimana proses internalisasi nilai-nilai Pagar Nusa, serta bagaimana proses transformasi diri berlangsung.
Krisis Identitas sebagai Motif Kenakalan Remaja
Dari beberapa anggota Pagar Nusa UIN Sunan Kalijaga mengungkapkan pernah memiliki kasus kenakalan remaja sebelumnya. Misalnya seperti perkelahian, pemalakan, minum-minuman keras, pembegalan, serta tawuran.
Motifnya pun juga berbeda-beda. Ada yang terjerumus pada kasus kenakalan remaja karena ingin mengeksplorasi pengalaman. Ada yang hanya ikut-ikutan atau bentuk pelarian terhadap masalah yang mereka hadapi. Namu nada juga karena sikap konformitas terhadap teman.
Baca Juga: Menjaga Kerukunan dan Perdamaian adalah Tanggung Jawab Kader Pagar Nusa
Ahmad menuturkan bahwa memang beberapa pengakuan tersebut mengindikasikan adanya krisis identitas yang remaja alami pada saat itu.
““Kami melihat ada indikasi krisis identitas yang dialami oleh anggota Pagar Nusa Rayon UIN Sunan Kalijaga,” jelasnya mengutip dari portal resmi UGM, Rabu (21/02/2024).
Pagar Nusa sebagai Solusi
Berdasarkan penelitian yang Ahmad dan rekannya lakukan, Pagar Nusa hadir sebagai wadah yang mampu mengatasi krisis identitas yang remaja alami pada fase tersebut.
Pagar Nusa hadir tidak sekadar melatih seni bela diri saja. Namun di dalamnya juga diajarkan tentang kepemimpinan, latihan mengatur emosi, latihan fisik, dan juga spiritual. Bahkan terkadang juga terdapat kegiatan lain di luar latihan seperti diskusi, monitoring, maupun ziarah.
Sebagai bagian dari badan otonom Nahdlatul Ulama, Pagar Nusa pun juga mempunyai spirit yang sama untuk mengemban ukhuwah Islamiyah dengan prinsip tawasuth, tawazun, I’tidal, dan tasamuh.
Tentu harapannya, Pagar Nusa menjadi wadah bagi para remaja untuk mengekspresikan rasa penasarannya yang berlandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal serta keagamaan. Dengan demikian para remaja dapat mengalokasikan waktunya pada hal-hal yang positif sehingga terhindar dari krisis identitas. (*)