PAGARNUSA.OR.ID – Selain Al-Asy’ariyah, paham Al-Maturidiyah juga menjadi basis teologis ahlussunnah wal jama’ah an-Nahdiyah. Paham ini dicetuskan oleh Abu Mansur al-Maturidy yang lahir di Maturid-Samarkand pada sekitar tahun 238 H/852 M dan wafat 333H/944 M.
Maturid adalah sebuah tempat di Samarkand, Transoxania. Tepatnya di sebelah utara Sungai Mudari (Turkistan, Rusia). Abu Mansur tumbuh besar dan berkembang di wilayah di mana ilmu pengetahuan berkembang pesat saat itu.
Secara prinsip Al-Maturidiyah memiliki banyak kesamaan dengan al-Asy’ariyah. Terutama dalam memahami nash-nash keagamaan yang tidak ekstrem sebagaimana Muktazilah. Hanya saja, yang menjadi perbedaan di antara keduanya bahwa landasan Fiqih Al-Asy’ariyah merujuk pada Imam Syafi’I dan Imam Maliki. Sedangkan al-Maturidiyah merujuk pada Imam Hanafi.
Selain itu Asy’ariyah hanya berhadapan pada satu aliran teologis, yakni Muktazilah. Sementara, Maturidiyah berhadapan dengan kelompok yang cukup banyak seperti Muktazilah, Mujassimah, Jahmiyah, dan Qaramithah.
Konsep Akidah Al-Maturidiyah
Konsep pemahaman akidah dari aliran ini sedikit banyak memiliki kesamaan dengan Asy’ariyah. Sikap tasamuh dan tawasuth dari Maturidiyah dalam memahami teks keagamaan menjadikan aliran ini lebih moderat. Tidak seperti aliran lainnya yang cenderung ekstrem dalam menafsirkan teks-teks agama.
Antara Naql dan ‘Aql
Maturidiyah menunjukkan adanya keseimbangan dalam menggunakan naql dan ‘aql (nash dan akal). Keduanya memegang peran penting dalam memahami perintah agama.
Oleh karena itu, ketika manusia berhenti melakukan tindakan karena ketiadaan perintah dalam nash, sama salahnya dengan melakukan tindakan dengan menggunakan akal tanpa terkendali.
Akal merupakan salah satu anugerah Allah Swt. Sebagaimana Al-Qur’an mengatakan bahwa hendaknya manusia menggunakan akalnya untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan.
Adanya ayat seperti liqoumin yatafak-karuun, liqoumin yatadzak-karuun, liqoumin ya’qiluun merupakan seruan untuk menggunakan akal dalam rangka meningkatkan keimanan kepada Allah Swt.
Ada sedikit perbedaan antara Maturidiyah dan Al-Asy’ariyah dalam memahami konsep naql dan ‘aql. Maturidiyah cenderung menempatkan naql di atas ‘aql sehingga setiap wahyu harus diterima sepenuhnya. Akan tetapi ketika ada perdebatan antara wahyu dan akal, maka akal harus menafsirkannya. Hal tersebut seperti pada ayat-ayat yang mengandung makna tasybih. Lafadh yadullahi dan wajhullohi misalnya.
Sifat Allah
Dalam memahami sifat Allah, aliran Maturidiyah seperti halnya Asy’ariyah, yakni mengakuinya. Pihaknya meyakini bahwa sifat itu berbeda dengan dzat, namun tidak berasal dari selain Allah. Contoh sederhananya, Allah Mengetahui keadaan seluruh makhluk bukan dengan Dzat-Nya, melainkan dengan sifat mengetahui-Nya (‘Ilm).
Kekuasaan dan Kehendak
Pembahasan mengenai Qudrah dan iradah, Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiki sifat yang mutlak. Kekuasaan dan kehendak-Nya tidak ada yang dapat membatasi dan memaksa, kecuali karena Tuhan itu sendiri.
Seperti studi case pada keadilan Tuhan. Bahwa Allah Swt telah menjanjikan surga bagi orang yang berbuat baik dan neraka bagi orang yang berbuat buruk. Akan tetapi dalam hal ini manusia mendapat kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.
Maturidiyah juga meyakini bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia. Namun manusia juga punya pilihan untuk melakukannya. Dengan demikian, konsep seperti ini akan menjadikan manusia tidak sombong atas kreativitas yang ia lakukan. Karena pada hakekatnya itu semua atas kehendak Allah. Sehingga manusia akan menjadi makhluk yang lebih bersyukur.
Tentang Iman dan pelaku dosa besar
Beberapa paham aliran teologis memiliki pemahaman yang berbeda dalam memahami Iman dan pelaku dosa besar. Khawarij menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti kafir dan hilang keimanannya. Murjiah meyakini bahwa dosa tidak dapat memengaruhi kadar iman. Sedangkan Qodariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar berada di dua tempat, antara mu’min dan kafir.
Sementara itu, Maturidyah memiliki pemahaman yang berbeda soal iman dan pelaku dosa besar. Menurutnya, iman tidak akan hilang meski manusia melakukan dosa besar. Iman menurut Maturidiyah, itu tempatnya di hati. Sedangkan tindakan maksiat tempatnya berada di anggota badan. Sehingga orang yang melakukan dosa besar, nantinya tidak akan kekal di neraka.
Al-Maturidi menyimpulkan bahwa nasib pelaku dosa besar ia serahkan kepada Allah. Jika Allah menghendaki ampunan, itu merupakan kekuasaan-Nya. Dan jika Allah menghendaki siksaan, itu juga bagian dari kekuasaan Allah.
Demikian sedikit dari inti pembahasan dari paham Al-Maturidiyah sebagai fondasi akidah aswaja Nahdlatul Ulama yang mengutip dari beberapa sumber. Semoga sahabat Pagar Nusa dapat memahaminya. Semoga bermanfaat! (*)