PAGARNUSA.OR.ID – Salah satu aliran teologis ahlussunah wal jama’ah (aswaja) yang Nahdlatul Ulama jadikan pedoman adalah Paham al-Asy’ariyah. Aliran ini dicetuskan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang lahir di Basrah (260 H/873 M) dan wafat di Baghdad (324 H/935 M).
Paham akidah ini muncul sebagai respons dari banyaknyaa aliran teologis setelah wafatnya Sayyidina Ali. Di mana setiap aliran memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami permasalahan akidah dalam agama Islam.
Meskipun, perdebatan mengenai akidah Islam sejak zaman Rasulullah Saw sebenarnya sudah banyak bermunculan. Hanya saja, pada saat itu setiap perdebatan langsung mendapat solusi penyelesaian dari Nabi Muhammad saw.
Perdebatan pasca wafatnya sayyidina Ali telah merambah luas ke permasalahan akidah keagamaan. Seperti perbuatan manusia dan Tuhan, permasalahan akal dan wahyu, keadilan Tuhan, soal melihat Tuhan di Akhirat, kemakhlukan Al-Qur’an, dan lain-lain. Perbedaan pendapat ini banyak memunculkan perdebatan yang tajam dan saling bertentangan.
Sebagai bagian dari banom NU, sahabat Pagar Nusa pun harus mengetahui konsep aswaja an-nahdliyah dalam bidang akidah, khususnya yang paham Al-Asy’ariyah ini.
Konsep Akidah Asy’ariyah
Dalam merespons berbagai huru-hara tersebut, asy’ariyah menawarkan konsep akidah sebagai jalan tengahnya. Di mana pada saat itu kelompok Jabariyah dan Qodariyah yang dikembangkan Mu’tazilah memiliki silang pendapat yang tajam.
Perbuatan Manusia dan Tuhan
Mengenai perbuatan manusia misalnya. Kelompok Jabariyah menganggap bahwa manusia sepenuhnya tidak mampu berbuat apa-apa. Allah Swt memiliki peranan yang dominan terhadap setiap perbuatan manusia.
Berbeda dengan Qodariyah yang menganggap bahwa manusia memiliki peranan terhadap perbuatannya. Setiap tindakan berasal dari kehendak manusia itu sendiri, terlepas dari campur tangan Allah.
Konsep tawasuth yang Al-Asy’ariyah tawarkan menjadi penengah di antara dua pedebatan tersebut. Dalam hal ini Al-‘Asy’ari meyakini adanya kasb (upaya). Di mana perbuatan manusia memang Allah yang menciptakan, tetapi manusia juga memiliki peran untuk mengupayakannya.
Pemahaman tentang kasb ini mengombinasikan bahwa adanya kebersamaan antara perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan. Sehingga manusia memiliki tanggungjawab terhadap perbuatan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, manusia memiliki kekuasaan dalam menentukan tindakannya tanpa mengabaikan campur tangan Tuhan.
Keadilan Tuhan
Dalam pemahaman kelompok Mu’tazilah keadian Tuhan mutlak diberikan kepada makhluk-Nya. Di mana manusia yang berbuat baik wajib masuk ke surga. Sedangkan manusia yang berbuat buruk wajib Tuhan masukkan ke neraka.
Al-‘Asyariyah menolak gagasan dari kelompok yang lebih mengedepankan akal ini. Menurutnya, adanya kewajiban seperti itu berarti membatasi kekuasaan Allah. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan sifat iradah Allah, di mana Allah memiliki kehendak yang tidak terbatas.
Kendatipun Al-Qur’an telah menyebutkan balasan terhadap perbuatan baik dan buruknya manusia, namun Keputusan akhir tetap berada pada kekuasaan Allah. Begitulah sikap tasamuh yang Al-Asy’ariyah tunjukkan.
Posisi Akal dan Wahyu
Berbeda dengan Mu’tazilah yang lebih mengedepankan akal. Al-Asy’ari cenderung menempatkan wahyu di atas akal. Walaupun demikian, akal juga masih memiliki peranan penting dalam memahami wahyu. Jika akal tidak mampu, maka ia harus mengikuti wahyu. Karena tidak semua wahyu dalam Al-Qur’an dapat dipahami dengan akal manusia.
Al-Asy’ariyah tetap menghargai kinerja akal sebagai bentuk rasionalitas. Akal berfungsi untuk menerjemahkan dan menafsirkan wahyu untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan. Akan tetapi supaya rasionalitas manusia tidak menghasilkan penafsiran yang menyimpang, maka manusia pun harus mengembalikan kinerja akan di bawah kendali wahyu.
Demikian beberapa inti dari paham al-Asy’ariyah mengutip dari buku “Aswaja An-Nahdliyah” yang disusun oleh Tim PWNU Jatim (2007). Paham ini menjadi pedoman Nahdlatul Ulama dalam memahami akidah Islam. Semoga bermanfaat! (*)