PAGARNUSA.OR.ID – Pagar Nusa resmi menjadi bagian dari badan otonom Nahdlatul Ulama sejak Muktamar NU ke-31 di Boyolali tahun 2004. Hal tersebut menjadi cerminan bahwa Pagar Nusa turut memegang ajaran ahlusunnah wal jamaah sebagai ideologi keagamaan.
Seperti halnya yang kita ketahui, Nahdlatul Ulama (NU) sendiri berdiri dengan tujuan untuk melestarikan dan memelihara ajaran ahlusunnah wal jamaah (aswaja). Paham ini menganut pola madzhab empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali) yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, kader Pagar Nusa sendiri harus memahami karakteristik dari ajaran ahlusunnah wal jamaah supaya tidak mudah goyah ketika menjumpai perbedaan dalam beragama. Hal tersebut karena ajaran aswaja adalah ruh Pagar Nusa, sebagaimana tujuan ulama mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Pengertian Aswaja
Mengutip dari buku Aswaja An-Nahdiyah yang Tim PWNU Jawa Timur susun (2007), istilah tentang aswaja atau ahlusunnah wal jamaah bermula dari sebuah hadits nabi yang diriwayatkan oleh kurang lebih 16 sahabat, salah satunya Abu Hurairah.
“Kaum Yahudi bergolong-golong menjadi 71, kaum Nasrani menjadi 72, dan umatku (Umat Islam) menjadi 73 golongan. Semua golongan masuk neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya: Siapa satu yang selamat itu? Rasulullah menjawab: Mereka adalah Ahlus Sunnah wa al-Jamaah (penganut Sunnah dan Jama’ah). Apakah ahlus Sunnah wa al-Jamaah itu? Ahlus Sunnah wa al-Jamaah ialah ma ana ‘alaihi wa ashabi (apa yang aku berada di atasnya bersama sahabatku.”
Dari hadits tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Ahlus Sunnah wa al-Jamaah ialah ajaran yang Nabi Muhammad amalkan serta Beliau ajarkan kepada para sahabat. Paham ini menjadi pegangan sekaligus pedoman dalam mengamalkan ajaran Islam.
Aswaja sebagai Paham
Dalam catatan Sejarah pemikiran Islam, melansir dari uin-malang.ac.id, ahlussunah wal-jamaah adalah sebuah paham teologis sebagai reaksi dari munculnya berbagai aliran teologis setelah terjadinya konflik pasca wafatnya Sayyidina Ali.
Pada saat itu muncul berbagai aliran teologis dengan macam-macam karakteristiknya seperti Khawarij, Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah, dan Syiah. Beragam aliran ini memiliki pandangan yang berbeda dalam memandang ajaran Islam, baik dari segi ketauhidan, peran akal dan wahyu, serta dalam memahami kalam Allah (Al-Qur’an).
Dalam perkembangannya, konsep yang Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi tawarkan menjadi representasi yang paling tepat dalam memaknai aswaja sesuai nukilan hadits nabi “ma ana ‘alaihi wa ashabi”.
Mereka berdua dikenal sebagai peletak pilar aswaja yang menyeimbangkan antara pemakaian akal (rasio) dan wahyu dalam memahami konteks ajaran Islam seperti yang Nahdlatul Ulama pahami sekarang ini.
Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr
NU menjadikan aswaja sebagai madzab dalam tradisi pemikiran Islam. Dalam aspek teologis, NU mengikuti paham Al-Asyari dan Al-Maturidi. Dalam peribadatan, NU mengikuti salah satu dari imam empat yakni Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Sedangkan dalam bidang tasawuf, NU mengikuti Imam al-Junaidi atau Imam Ghazali.
NU sendiri memiiliki dua ragam bermadzhab, yakni qouli dan manhaji. Sacara Qouli berarti mengikuti segala produk hukum yang sudah jadi. Sedangkan secara manhaj berarti mengikuti pola pikir sebagai bentuk proses untuk menghasilkan produk.
Dalam perkembangannya kemudian, bermadzhab secara qouli tidak mudah untuk dipertahankan. Hal tersebut karena segala produk hukum mengikuti situasi dan kondisi di mana para ulama terdahulu tinggal.
Tentu kondisi sekarang dengan zaman dahulu sudah berbeda dengan tingkat permasalahan yang lebih kompleks. Oleh karena itu, bermazhab secara manhaji menjadi alternatif untuk menjawab tantangan zaman. Karena jika tidak demikian, NU akan mengalami kemandekan berpikir dan kolot terhadap tuntutan zaman.
Aswaja sebagai manhaj al-Fikr (kerangka berpikir) merupakan sebuah proses dinamika pemikiran yang tidak akan pernah berhenti seiring dengan pekembangan zaman. Bukan tidak mungkin untuk membuat produk hukum yang lebih kontekstual dan tidak saklek dalam memahami nash-nash keagamaan.
Hal ini penting bagi kader NU dan para banomnya, termasuk Pagar Nusa dalam memahami aswaja sebagai manhaj al-Fikr. Dengan mengikuti proses penggalian hukum seperti halnya yang ulama terdahulu ajarkan dengan mengikuti kaidah dasar dan memerhatikan konteks zaman, maka problematika zaman akan dapat dipecahkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. (*)