PAGARNUSA.OR.ID – Loyalitas terhadap identitas sebuah pencak silat menjadi hal yang penting bagi setiap anggota. Tanpa adanya rasa tersebut, seorang individu tidak mungkin memiliki dedikasi yang tinggi dan sungguh-sungguh untuk berkhidmah di dalamnya.
Akan tetapi sikap loyalitas yang berlebih sehingga memunculkan fanatisme juga menjadi tantangan tersendiri. Bahkan tidak jarang sikap tersebut dapat membawa pada pergolakan dan konflik antar perguruan silat yang dapat menimbulkan banyak kerugian.
Sikap fanatisme kerap membuat seorang individu merasa paling benar atau paling baik sendiri sehingga memandang rendah kelompok lainnya.
Mereka pun absen terhadap kekurangan atau kesalahan pada kelompok mereka. Pun jika mendapat teguran, hal tersebut tidak dapat mengubah keyakinannya.
Fanatisme Menggiring pada Kerusakan
Memang benar, apapun, jika berlebihan akan berdampak negatif. Tidak hanya soal makanan, fanatik terhadap sebuah kelompok jika terlalu obsesif juga tidak baik.
Melansir dari buku “Fanatisme Mahasiswa Islam”, Kadar Risman menjelaskan bahwa fanatisme sendiri berasal dari dua kata; fanatic dan isme.
Fanatik atau bahasa Latinnya, “Fanaticus” berarti sikap gila-gilaan. Sedangkan kata “isme” menunjukkan pengertian paham atau pandangan.
Jika melihat definisi tersebut, fanatisme menunjukkan sebuah sikap atau perilaku antusiasme dan kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu objek seperti figur, kelompok, agama, maupun hal lainnya.
Fanatisme sendiri dapat menggiring pada kerugian. Termasuk fanatik pada organisasi pencak silat yang seseorang ikuti. Betapa banyak bentrok dan perkelahian yang terjadi hanya karena permasalahan sepele.
Tidak hanya berdampak pada nama baik organisasi, namun hal tersebut juga mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
Bahaya Fanatisme
Sering kali fanatisme membuat seseorang menjadi berpikiran sempit dan kurang rasional. Hal tersebut membuat kesalahan atau kekurangan pada organisasi yang ia ikuti menjadi tertutupi.
Dalam hal ini logika akal sehat pun sulit untuk mengubah pandangan orang yang fanatik meski ia mendapat teguran dari orang lain.
Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Seorang Psikolog, Efnie Indrianie menuturkan bahwa fanatisme mirip dengan mekanisme orang jatuh cinta. Menurutnya, orang yang sedang jatuh cinta tidak mempan jika ada yang menasehati. Begitu pula ketika mendapat peristiwa yang menimbulkan patah hati, bekasnya luar biasa.
Ketika manusia sudah menyukai sesuatu dan menyimpannya dalam fungsi emosi yang sangat dalam, lanjutnya, maka amygdala dalam otak akan teraktivasi secara otomatis. Amygdala sendiri merupakan bagian dari otak tengah manusia.
Amygdalam yang sudah teraktivasi, menurutnya, dapat membuat sirkuit logika yang berada di frontal cortex atau otak depan akan berhenti.
Hal tersebut akan membuat orang yang fanatik terhadap sesuatu, termasuk identitas pencak silatnya cenderung lebih emosional dan sensitif ketika organisasi atau kawan seperguruannya mendapat gangguan atau kritikan dari luar. Hal demikian terjadi karena pada saat itu logika seseorang telah berhenti.
Senada dengan Hamdi Muluk, seorang Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia dalam podcastnya di kanal The Conversation.
Baca Juga: Antara Solidaritas dan Fanatisme
Menurutnya, sikap fanatisme dapat menyebabkan bias kognitif. Mereka berpikir bahwa apa yang ia yakini adalah kebenaran tertinggi. Hal ini akan membuat mereka tidak mampu menerima kebenaran yang berasal dari kelompok lain.
Tidak heran jika orang dengan fanatisme tinggi sering melakukan tindakan atau menunjukkan sikap yang kurang rasional, meski telah mendapat nasihat atau ditunjukkan dengan data-data akurat.
Perlu Instopeksi
Pada dasarnya, loyalitas pada suatu organisasi pencak silat adalah hal yang baik. Dengan loyalitas yang tinggi maka seseorang akan menunjukkan dedikasi yang sungguh-sungguh pula untuk mengabdi di dalamnya.
Namun, tak dapat dipungkiri pula bahwa kita hidup tidak dalam satu ragam. Banyak perbedaan yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Apalagi di Indonesia yang terkenal dengan multikulturalismenya. Di mana setiap penjuru wilayah memiliki kebudayaan dengan norma dan nilai yang berbeda-beda.
Dalam konteks ini, berbagai perbedaan aliran pencak silat bukan menjadi ajang untuk saling berkompetisi dan saling mengunggulkan diri.
Berdamai dengan perbedaan tentu dapat membuat suasana lebih harmonis. Meskipun hal tersebut tidak mudah, seharusnya telah menjadi kesadaran bersama untuk menerima perbedaan. Karena perbedaan adalah sunnatullah yang tidak dapat manusia hindari. (*)